Diskriminasi Etnis Tionghoa – Sebagai negara multikultural, masyarakat Indonesia memang sepatutnya berbangga. Pasalnya, hidup dalam perbedaan suku, agama, ras dan antar golongan sama sekali bukan hal yang mudah. Sayangnya, di balik Bhinneka Tunggal Ika yang menjadi dasar negara kita, masih ada sejumlah diskriminasi sampai saat ini. Salah satunya adalah diskriminasi Tionghoa di Indonesia.
Populer dengan sebutan Chindo, masyarakat keturunan Tionghoa di Indonesia kerap dianggap sebagai kelompok eksklusif. Mereka juga memiliki stereotip yang beragam dari masa ke masa. Bagaimana sejarahnya? Yuk, kulik secara lengkap lewat artikel ini!
Awal Mula Munculnya Sentimen Negatif terhadap Etnis Tionghoa
Etnis Tionghoa sudah sejak lama masuk dan tinggal di Indonesia. Tidak hanya berdagang, mereka datang ke sini juga untuk menyebarkan agama Buddha. Berdasarkan catatan sejarah, kedatangan bangsa Tionghoa diperkirakan sudah terjadi sejak zaman Dinasti Han (tahun 202 SM – 220 SM) lewat jalur perdagangan ke Asia Tenggara.
Perlakuan diskriminatif terhadap etnis Tionghoa konon sudah terjadi sejak tahun 1740-an di masa pemerintahan Kolonial Belanda. Dalam peristiwa Geger Pacitan, ada lebih dari 10.000 orang keturunan Tionghoa yang dibunuh oleh Belanda. Pada akhir abad ke-19, ada sejumlah aturan pembatasan untuk kelompok etnis Tionghoa yang dikeluarkan oleh pemerintah Belanda antara lain:
- Adanya isolasi permukiman. Keturunan Tionghoa hanya boleh tinggal di daerah-daerah yang sudah ditentukan.
- Aturan passenstelsel yakni larangan bagi warga Tionghoa untuk bepergian tanpa izin.
Sejak kejadian itu, diskriminasi demi diskriminasi dialami oleh keturunan Tionghoa di tanah air baik yang dilakukan oleh pemerintah lokal maupun asing.
Baca Juga: Mengapa Cancel Culture Begitu Kuat di Industri Hiburan Korea Selatan?
Enak Gak Enaknya Jadi Keturunan Tionghoa Di Indonesia
by Habib Jafar & Robie Canghe
Diskriminasi Etnis Tionghoa di Masa Orde Lama
Meski Belanda sudah resmi meninggalkan Indonesia, akar-akar kebencian yang ditanamkan terhadap keturunan Tionghoa masih tertinggal di era Orde Lama. Antara tahun 1956-1960, politik anti Tionghoa membuat warga keturunan Cina dikejar-kejar. Perlakuan rasis juga diterima dari pemerintah Orde Lama.
Salah satunya adalah pemberlakuan larangan bagi warga Tionghoa untuk membuka usaha dagang di tingkat desa pada 1959. Akibat dari aturan yang tertuang dalam PP No. 10/1959 itu tercatat lebih dari 100.000 orang Tionghoa meninggalkan Indonesia karena merasa menderita tinggal di sini.
Perlakuan aparat militer terhadap etnis Tionghoa makin membuat kaum ini terpinggir. Terlebih lagi, sebagian besar orang Indonesia berpikir bahwa kaum Tionghoa sebagai pendatang seharusnya tunduk pada pemilik tanah (pribumi). Nyatanya, ada kelompok elite Cina yang justru tidak ‘tersentuh’ dan menciptakan dendam tersendiri dalam benak penduduk pribumi. Anggapan bahwa orang-orang keturunan Cina adalah cukong dan tukang peras uang pribumi pun makin melekat kuat.
Diskriminasi Etnis Tionghoa di Masa Orde Baru
Lengsernya Soekarno tidak membuat nasib kaum Tionghoa jadi lebih baik. Diskriminasi Tionghoa di Indonesia masih terus berlanjut di masa pemerintahan Presiden Soeharto. Langkah pemerintah Orde Baru bahkan makin jelas dan nyata. Beberapa aturan diskriminatif yang dikeluarkan oleh pemerintah kala itu antara lain:
- Kartu Tanda Penduduk Warga Tionghoa mendapatkan tanda khusus yang membedakan mereka dengan penduduk pribumi.
- Keturunan Tionghoa tidak diperbolehkan menjadi tentara atau pegawai negeri sipil (PNS).
- Warga Tionghoa tidak diperbolehkan memiliki tanah di pedesaan.
Pada tahun 1967, Presiden Soeharto mengeluarkan surat edaran untuk menyelesaikan masalah etnis Cina. Dalam edaran tersebut dinyatakan bahwa keturunan Tionghoa WNA yang punya itikad baik akan dijamin oleh pemerintah baik kehidupan, usaha, dan kepemilikannya.
Agar tidak ada eksklusivisme, pemerintah kemudian melakukan langkah asimilasi orang-orang Tionghoa yang dilakukan dengan berbagai cara seperti:
- Meminta warga Tionghoa mengganti nama dengan nama Indonesia.
- Semua bentuk penerbitan dengan aksara dan bahasa Cina dilarang.
- Perayaan hari tradisional yang berhubungan dengan budaya Tionghoa tidak boleh dilakukan di depan publik.
- Tidak boleh ada sekolah Tionghoa. Anak-anak keturunan Cina wajib masuk ke sekolah umum baik swasta maupun negeri.
Langkah ini ternyata tidak berjalan seperti yang dikira oleh pemerintah. Menurut penelitian Amy Freedman dari Franklin and Marshall College, Amerika Serikat, ini adalah bentuk politik pecah belah. Meski meminta masyarakat Tionghoa melakukan asimilasi, di saat yang sama, mereka juga harus mengidentifikasi diri sebagai nonpribumi.
Pembantaian terhadap kaum Tionghoa kembali terjadi pada tahun 1998. Kerusuhan besar-besaran membuat warga keturunan Cina terpaksa kehilangan rumah dan toko-toko mereka dijarah. Wanita-wanita Tionghoa bahkan banyak yang diperkosa, dianiaya, dilecehkan, bahkan dibunuh saat itu. Kerusuhan besar-besaran itu juga yang menyebabkan Presiden Soeharto diturunkan dari jabatannya.
Politik Pemerintah dan Etnis Tionghoa Saat Ini
Puluhan tahun berlalu pasca kerusuhan 1998, prasangka dan trauma dari masyarakat Tionghoa masih terasa. Dilansir dari theconversation.com, sebuah survei online yang dilakukan pada 100 orang Tionghoa yang mengalami langsung peristiwa kerusuhan tersebut masih merasa trauma dan takut.
Meski begitu, politik pemerintah lebih terbuka bagi mereka yang keturunan Cina. Larangan keturunan Tionghoa untuk masuk kepolisian PNS pun sudah dihapuskan. Tidak sedikit keturunan Tionghoa yang masuk ke jajaran pemerintahan. Beberapa menteri dan pejabat tinggi yang merupakan keturunan Tionghoa antara lain adalah:
- Amir Syamsuddin (Freddy Tan Toan Sin)
- Angela Tanoesoedibjo
- Erick Thohir
- Ahok (Basuki Tjahaja Purnama).
Lalu, apakah ini menjadi pertanda diskriminasi Tionghoa di Indonesia resmi berakhir? Nyatanya tidak. Masih banyak kejadian-kejadian rasis yang dialami oleh Chindo di Indonesia. Misalnya saja, peristiwa pemukulan terhadap Andrew Budikusuma pada tahun 2015 lalu. Selain dipukuli, ia juga diteriaki dengan kata-kata kebencian yang rasis.
Baca Juga: Budaya Senioritas di Indonesia, Dampak dan Cara Menghadapinya
Mencari cara menghapus diskriminasi Tionghoa tidak hanya bisa dilakukan oleh pemerintah saja. Semua orang baik pribumi maupun orang Tionghoa itu sendiri perlu menemukan cara terbaik agar kita bisa hidup damai berdampingan tanpa memandang perbedaan.
Mau tahu sudut pandang berbeda soal orang-orang Cina di Indonesia? Yuk, dengarkan podcast Berbeda tapi Bersama with Habib Jafar via Noice. Unduh aplikasi Noice rumah konten audio Indonesia di Google Play atau App Store dulu untuk menyimak Eps 57: Enak Gak Enaknya Jadi Keturunan Tionghoa Di Indonesia (bersama Robie Canghe).
Enak Gak Enaknya Jadi Keturunan Tionghoa Di Indonesia
by Habib Jafar & Robie Canghe