Hustle Culture – “Kerja keras tidak akan mengkhianati hasil”. “No pain, no gain”. “Kamu bisa bersenang-senang kalau sudah sukses nanti”. Seberapa sering kamu mendengar kata-kata ini saat kamu merasa kelelahan? Pasti, hampir semua orang pernah mendengarnya setidaknya sekali seumur hidup. Baik itu dari diri sendiri, keluarga terdekat atau bahkan teman.
Meskipun benar bahwa kalimat-kalimat semacam itu bisa menjadi motivasi bagi sebagian besar kita untuk bekerja keras dan mencapai tujuan, tapi apakah kamu pernah mendengar bahwa hal baik yang terlalu banyak juga bisa berdampak buruk? Inilah inti dari hustle culture.
Apa sebenarnya hustle culture? Apa saja ciri-cirinya dan kenapa hustle culture saat ini ternyata sudah dimaknai dengan cara yang salah?
Pengertian Hustle Culture
Berdasarkan standar yang kita gunakan saat ini, hustle culture artinya adalah keadaan saat seseorang bekerja terlalu keras dan menjadikan aktivitas yang penuh hiruk pikuk ini sebagai bagian dari gaya hidup. Ketika kamu tenggelam dalam hustle culture, rasanya tidak ada hari saat kamu tidak mengerahkan kemampuan terbaikmu. Kamu bahkan bisa kehilangan waktu untuk kehidupan pribadimu.
Jika dilihat dari kamus, hustle culture sebenarnya bermakna melakukan sesuatu dengan energik. Jadi, bagaimana bisa kata yang terdengar netral ini menjadi budaya dan gaya hidup yang berbahaya?
Selama bertahun-tahun, overworking dimodernisasi oleh buku-buku self-help yang sering kamu lihat di toko-toko buku, media sosial bahkan lewat petuah-petuah para pengusaha sukses yang terkenal. Inilah yang kemudian menjadi makna baru hustle culture.
Elon Musk, pendiri Tesla pernah menulis cuitan di akun Twitternya yang berbunyi, “Tidak ada yang pernah bisa mengubah dunia dalam 40 jam seminggu,” dia juga menyebutkan bahwa, “Kamu perlu bekerja selama 80 jam untuk mempertahankan (prestasi atau apa pun yang kamu miliki) dan meraih puncak (dengan bekerja keras) selama 100 jam”.
Banyak anak-anak muda yang menjadikan buku, platform media sosial dan para wirausahawan dunia sebagai inspirasi untuk mengejar kesuksesan mereka sendiri. Sebagai masyarakat yang ambisius dalam bekerja menuju tujuan mereka, tidak heran jika sekarang banyak orang jadi korban budaya hustle culture di mana sudah tidak ada lagi garis tipis yang membedakan antara kesuksesan dengan overworking.
Penyebab Hustle Culture
1. Standar Sosial Masyarakat
Standar sosial yang sudah tertanam di benak masyarakat secara tidak langsung dapat menjadi salah satu penyebab hustle culture. Contoh dari standar sosial yang dimaksud adalah seperti kesuksesan yang berorientasi pada harta benda, misalnya di umur 25 tahun harus sudah mempunyai tabungan, kendaraan, dan hunian.
Gara-gara target hidup yang tidak realistis tersebut, banyak orang akhirnya mau tidak mau harus bekerja melebihi batasnya demi mencapai target. Sebab jika tidak, mereka akan dicap belum sukses karena tidak bisa memenuhi target yang dibuat oleh masyarakat.
2. Toxic Positivity
Selalu berpikiran positif tidak selamanya baik, sebab jika terus berpikiran positif meski di tengah keadaan yang negatif maka bisa jadi itu adalah toxic positivity. Perilaku toxic positivity dapat membuat orang-orang agar menahan atau menghindari emosi-emosi negatif, bahkan sampai memaksakan diri.
Hal tersebut ternyata dapat memicu gangguan pengendalian emosi dari seseorang. Sebab seharusnya emosi negatif diterima apa adanya supaya bisa lebih mudah untuk diatasi di kemudian hari. Namun sayangnya belum banyak orang yang memahami tentang buruknya perilaku ini.
Baca juga: Apa Itu Burnout? Yuk, Cari Tahu Ciri-cirinya di Sini!
Ciri-Ciri Hustle Culture
Banyak orang yang menganggap bahwa hustle culture adalah sesuatu yang keren. Pada kenyataannya, itu hanya istilah untuk membuat istilah “surviving the rat race” jadi terdengar keren. Lalu, apa sebenarnya ciri-ciri yang menunjukkan kalau kamu sudah terjebak dalam hustle culture?
1. Memaksakan diri untuk bekerja terlalu keras
Kamu biasanya bisa berempati dengan kelelahan orang lain dengan menyuruh mereka beristirahat. Tapi jika itu berkaitan dengan dirimu sendiri, kamu selalu menolaknya. Kamu akan terus-menerus mendorong dirimu melakukan banyak hal. Mengerjakan deadline, ujian yang mengikuti meeting, kamu mencoba untuk melakukannya dengan target terbaik. Jika apa yang jadi targetmu belum tercapai, maka kamu tidak akan berhenti
2. Pikiranmu selalu ‘on’
Hustle culture membuat pikiranmu tidak bisa berhenti bekerja. Meski kamu sedang istirahat, bercanda dengan teman dan bersantai, pikiranmu akan terus bekerja. Memikirkan tugas apa yang perlu diselesaikan berikutnya atau bagaimana caranya membereskan hal itu. Dalam pikiranmu sudah tertanam mindset, “Don’t stop when you’re tired. Stop when you’re done.”
3. Tidak bisa menikmati sesuatu dengan sepenuh hati
Hustle culture lama kelamaan akan membuatmu lupa bagaimana caranya bersenang-senang. Meskipun sedang akhir pekan, kamu tidak berhenti memikirkan pekerjaan yang belum selesai. Kamu merasa belum bisa berbahagia atau merayakan sesuatu karena masih banyak hal yang harus diselesaikan. Ada banyak email yang harus dikirim, klien yang harus dihubungi dan berkas yang perlu dicek
Kamu punya ekspektasi tinggi terhadap dirimu sendiri. Ketika bicara tentang produktivitas dan outcome, kamu memiliki ekspektasi setinggi langit pada dirimu sendiri. Kamu ingin mengerahkan semua yang kamu punya untuk dapat hasil terbaik. Ketika kamu tahu potensimu dan batas maksimalmu, kamu tidak akan mengizinkan dirimu sendiri untuk meraih sesuatu yang lebih rendah dan lebih kecil dari itu.
Dampak Hustle Culture
Terlepas dari hal apapun yang pernah kamu dengar dari hustle culture, ini bukanlah sebuah budaya yang sehat. Hustle culture adalah sesuatu yang toxic dan sebenarnya adalah lawan dari produktivitas. Mengapa?
1. Mendorong kompetisi yang tidak sehat dalam perusahaan
Perusahaanmu mungkin terus memotivasimu untuk berusaha keras kalau ingin dapat promosi. Efeknya, semua pekerja akan berusaha melakukan upaya terbaiknya dengan bekerja lebih lama dan lebih keras. Pada akhirnya, ini dapat mengarah pada kompetisi yang tidak sehat
2. Hustle culture bisa menyebabkan burnout
Penelitian menunjukkan bahwa peningkatan stres dan burnout bisa menurunkan produktivitas profesional seseorang. Untuk mencapai pekerjaan yang berkualitas, seseorang harus mencapai kepuasan pribadi, bukan sekadar menambah beban kerja saja. Organisasi kesehatan dunia WHO mendefinisikan burnout sebagai sindrom yang dikonseptualisasikan sebagai efek dari stres kronis yang belum bisa dikelola dengan baik. Jadi ketika kamu sibuk dengan hustle culture dan pada akhirnya mengalami burnout, ini justru akan membuatmu jadi tidak produktif
3. Membuatmu merasa tidak pernah cukup.
Budaya toxic ini sebenarnya adalah sesuatu yang sulit dimenangkan karena ‘tiang gawang’ terus bergerak. Apapun yang kamu lakukan dan bagaimanapun caramu memprioritaskan pekerjaan di atas kehidupan pribadi, itu terasa tak pernah cukup. Kita dibuat berpikir seolah-olah jika kita tidak memainkan peran dalam hustle culture, kita tidak layak untuk sukses. Lebih parahnya, ini akan membuatmu berpikir bahwa kamu tidak punya kapabilitas untuk itu.
4. Work-Life Balance Tidak Stabil
Dengan bekerja penuh tanpa ada batasan, ada kemungkinan besar kita akan kehilangan waktu untuk melakukan aktivitas lain di luar jam kerja. Akibatnya, kita sebagai pekerja dapat mengalami gangguan kesehatan mental karena tidak ada aktivitas lain yang berfungsi sebagai pelepas stres.
Selain aktivitas lain, kita juga menjadi jarang bertemu dengan keluarga, pasangan, dan teman karena kita terlalu gila kerja. Padahal sosialisasi dengan orang-orang terdekat sangat kita butuhkan sebagai makhluk sosial agar terhindar dari berbagai masalah mental yang berbahaya.
5. Meningkatkan Risiko Penyakit
Lembur kerja dapat mengakibatkan aktivasi psikologis yang berlebihan dan menimbulkan stres sehingga pada akhirnya akan meningkatkan detak jantung serta tekanan darah. Selain itu, panjangnya jam kerja berkontribusi terhadap resistensi insulin aritmia, iskemia, dan hiperkoagulasi.
Bahkan penelitian Current Cardiology Reports yang dilakukan di tahun 2018 menyebutkan bahwa jam orang kerja yang lebih dari 50 jam per minggu dapat meningkatkan risiko serangan jantung, jantung koroner, hingga infark miokard..
Cara Menghindari atau Mengatasi Hustle Culture
1. Stop Membandingkan Diri dengan Orang Lain
Membandingkan diri sendiri dengan orang lain tidak akan ada habisnya, sebab di atas langit pasti masih ada langit. Apabila kita selalu membandingkan dengan orang lain, maka bukan tidak mungkin hal tersebut akan menjadi salah satu sumber pressure pada diri kita yang akhirnya menciptakan hustle culture.
Sebaiknya kita fokus kepada diri kita sendiri tanpa melihat pencapaian orang lain. Sebab hidup bukanlah perlombaan untuk saling mendahului, melainkan ajang untuk kita bermimpi dan berjuang sendiri-sendiri.
2. Mengubah Mindset Kerja
Tidak sedikit orang-orang yang berpikiran bahwa kerja adalah segalanya, bahkan banyak dari mereka yang mendedikasikan seluruh hidupnya untuk bekerja. Padahal ada banyak hal lain di luar sana yang bisa menjadi aktivitas di luar kerja, seperti mendatangi konser musisi favorit, menonton film di bioskop, atau sekadar berolahraga.
Salah satu cara untuk mengatasi hustle culture adalah dengan mengubah mindset tentang bekerja, bahwa bekerja bukanlah aktivitas di atas segalanya. Bekerjalah bersama hati, kita ini insan bukan seekor sapi.
3. Niatkan Istirahat
Hal paling penting dari melakukan setiap aktivitas adalah istirahat, sebaik apapun aktivitasmu apabila tidak beristirahat maka akan berdampak sangat buruk, salah satunya bekerja.
Apabila kamu sudah mulai menunda-nunda waktu istirahat ketika sedang bekerja, maka bisa jadi secara tidak langsung kamu sudah terjebak hustle culture. Untuk menghindarinya kamu bisa mulai meniatkan istirahat ketika waktunya sudah tiba, sebab istirahat juga penting untuk menjaga kesehatanmu.
Apabila kamu sakit atau meninggal karena hustle culture, perusahaan hanya tinggal mencari penggantimu. Oleh karena itu, prioritaskan kesehatanmu di atas segalanya.
Baca juga: Rangkuman Buku Find Your Why oleh Simon Sinek
Glorifikasi budaya hustle culture adalah salah satu tanda bahaya yang perlu kamu perhatikan dengan baik dampaknya pada dirimu sendiri. Lalu, bagaimana sebenarnya budaya kerja dan aktivitas yang sehat itu? Kamu bisa mendengarkan lebih banyak insight lewat Noice rumah konten audio Indonesia. Salah satu konten menarik dari Tsama Dengan oleh Tsamara Amany yang berjudul Glorifikasi Berlebihan Soal Hustle Culture wajib kamu dengarkan. Yuk, download langsung aplikasinya di Google Play atau App Store!